Mt. Lorokan 1100 mdpl (masl)

 Dear stalkers, 

FYI, gue memang Mojokerto-based. Postingan ini cuma berupa cerita, curhatan dan sedikit bumbu sumpah serapah. Jadi bagi kalian yang kesini dalam rangka mencari informasi untuk mendaki Gunung Lorokan hmm....sorry to disappoint you. Gue bakal tetap ngasih tips nanti di bawah, tapi hanya seputar pendakian nya, bukan how to get there karena gue kesana pake kendaraan pribadi.

Jadi setelah yang gue janjikan di postingan terakhir, sebelum gue lupa detail-detailnya, gue mau bahas pendakian pertama gue di Gunung Lorokan, 1100 mdpl, Mojokerto. Gunung ini kita pilih karena ketinggiannya lumayan pendek dan berdasarkan review dari seorang pendaki yang naik bareng keluarga kecilnya (Ibu, Bapak, anak kecil), gunung ini cukup family friendly. 

Rencana ini memang super dadakan, hanya karena gue dan kakak yang udah nggak sabar lagi nunggu setelah puasa. Dengan berbekal histori menjajal Bukit Krapyak tanpa minum, akhirnya kita optimis bisa juga nih dicoba Gunung Lorokan tanpa minum. Akhirnya habis sahur, kita siap-siap karena bakal berangkat jam 6 pagi.

Karena kita emang mau hiking dan targetin puncak, kita bawa perlengkapan hiking yang lumayan dan tambahan matras buat istirahat nanti waktu di puncak. Karena ini gue berangkatnya bareng kakak, jadi impossible ya untuk kesiangan atau molor.

Foto ini diambil tepat jam 06.01, bersama dengan si Telo motorku yang udah 6 tahun tapi minumnya Pert*max. Si Iteng jadi photobomb di belakang. Kita akhirnya keluar dari rumah sekitar jam 06:05an dan berangkat menuju Pacet, Mojokerto yang jaraknya cuma sekitar 10 km dari rumah. Dari Pacet, ambil jalan ke arah Cangar sekitar 6 km an. Dekat sekali bukan? Tapi jangan diambil enteng dulu bro, disini perlu gue garis bawahi bahwa kondisi kendaraan apapun yang lo pakai, harus fit banget. Untuk si Telo fit karena hari-hari minum Pert*max. 

Tapi emang pada dasarnya gue langganan apes, sebetulnya sih gue yakin aja bisa sampe Lorokan dan balik lagi dengan kondisi tangki bensin gue yang tinggal seperempat. Di jalan perkotaan biasa, bensin seperempat itu masih bisa jalan sekitar 50 km an. Do your calculation. Memang waktu nanjak si sensor tangki BBM gue akan turun karena sensornya letaknya di bagian depan, sebaliknya kalau lagi jalan turun, sensornya bakal naik. Tapi nyali gue ciut juga waktu kakak gue bilang "waduh bensinnya tinggal segitu, kuat ga ya dibuat nanjak dan turun lagi?" Akhirnya kita puter balik nyari Pert*mini. 

Tadinya perkiraan sampai pos perizinan Gunung Lorokan sekitar setengah 7, tapi karena kita puter balik nyari Pert*mini dan mau ga mau harus balik nanjak lagi lewat jajaran tanjakan setan Cangar itu, akhirnya baru sampai pos perizinan sekiar jam 7 kurang sedikit. Setelah bayar dan lain-lain, kita start pendakian jam 07:05an.

Ada 2 pilihan jalur: lewat jalur landai dan ketemu mata air, atau lewat jalur agak ekstrem dan ketemu air terjun. Kita milih yang lewat air terjun, because why not? Sebelum kita memulai pendakian, kita berdoa dulu tentunya walaupun ga serius-serius amat karena doa yang kita panjatkan adalah semoga bisa pulang dengan selamat terutama di bagian balik naik motornya. Sepercaya-percaya nya gue sama si Telo, gue lebih percaya sama kaki gue sendiri.

Jalur ini bakal landai cenderung curam menurun waktu pertama kali dijajal. Namanya turunan / tanjakan Gisel. Gue nggak tau memang sengaja dihias atau apa, tapi sepanjang jalan-jalan pertama banyak yang nanem bunga hias. Jalurnya jelas dan lumayan lebar. Tanahnya empuk. Selang beberapa ratus meter, barulah kita masuk ke kedalaman hutan tapi sedikit banyak udah kedengeran debur air terjun nya. 

Gue keliatan gendut ya wkwkwk. Disini gue lagi fotoin daun - daun yang ada embunnya, tapi turns out foto nya blur gengs, jadi nggak bisa gue tampilin disini. 

Setelah beberapa puluh menit, akhirnya kita sampai di situs air terjun nya Gunung Lorokan, yang namanya gue lupa apa. Menurut gue ini air terjun nya bagus sih karena bertingkat - tingkat, tapi biasa aja karena aliran air nya nyebar banget jadi agak kurang photogenic. Gue emang biasa gitu gengs, kalo ga bisa ngambil foto yang ciamik pasti yang gue salahin scenery nya. Ehm. Lanjut.

Kita males rendem-rendem kaki karena lupa (dan emang nggak ada niatan) bawa handuk atau kanebo. Waktu mendaki Gunung Lorokan ini kita pakai sepatu hiking waterproof, bukan pakai sandal yang gampang di lepas-pakai. Setelah dari air terjun dan puas foto-foto, akhirnya kita say bye dan melanjutkan pendakian.

Setelah melewati tanjakan yang ada handrail bambunya, kita tiba di dua percabangan yang nggak ada tanda atau panahnya. Akhirnya kita milih jalur ke kiri yang masih ada handrail nya. Ternyata tembusan nya ke Pos 2. Ada semacam gazebo kecil dan area yang lumayan luas untuk camping. Tapi kayaknya sih camping ground ini bakal sepi karena ga ada view nya. 

Setelah istirahat beberapa menit, kita lanjut menuju arah puncak. Gue nggak tau beberapa ratus meter atau beberapa puluh meter setelahnya, kita sampai di Pos 3 yang cuma berupa sebuah bangku dari batang-batang kayu. Kita istirahat beberapa menit lagi disana. 

Setelah Pos 3, kita mulai banyak berhenti, entah itu untuk istirahat atau sekedar ngeliat pemandangan yang mulai terbuka di arah kanan. Kadang liat Welirang, kadang liat Penanggungan. Persis sebelum puncak, kita kudu ngelewatin tanjakan Raisa 25 yang gue nggak tau kenapa dinamain gitu.


Beberapa menit kemudian kita sampai puncak. Dari setelah tanjakan, kita lurus aja ngikutin jalan datar sampai bendera. Di sepanjang jalan datar itu banyak spot foto-foto dengan latar belakang Anjasmoro dan gunung-gunung lain di satu sisi dan Penanggungan di sisi lainnya. Surprisingly, banyak banget pendaki yang masih gelar tenda di puncak sini. Kita memutuskan untuk gelar matras di puncak, beberapa meter dari bendera karena spot itu satu-satunya spot yang kosong dengan jarak lumayan aman dari tenda pendaki lainnya.

Setelah puas foto-foto di puncak, kita berberes dan turun lagi lewat jalur landai. Disana kita ketemu sama Pos 1 yang berupa mata air dan lingkungan sekitarnya dihias bagus banget. Banyak gazebo - gazebo bambu, jalurnya pun dipagari bambu kanan-kiri. Tanaman hias juga menghiasi Pos 1 ini yang lebih kayak taman daripada pos pendakian. Menurut gue ini beneran modal banget sih untuk bisa "menghias" Pos 1 jadi sebagus itu. Disini gue juga gagal dapet foto bagus karena gue bingung fotoinnya gimana, jadi bagi kalian yang penasaran coba aja dateng sendiri. Ehe.

Jalur balik ke Pos Perizinan ternyata menanjak, jadi ternyata sama aja kayak ke air terjun, cuma memang jauh lebih landai dan jauh lebih lebar karena jalur ini memang dibuat untuk lalu-lalang sepeda motor. Kita sampai di Pos Perizinan sekitar jam 10 pagi. 

TIPS YANG SEDIKIT-BANYAK TIDAK MEMBANTU:

Berikut adalah daftar belanjaan perlengkapan yang gue bawa ketika naik:
1. Motor (pastinya)
2. Backpack Avtech La Femme 40L nyolong dari adek gue, harganya dulu di awal tahun 2020 sekitar 400ribuan.
3. Matras aluminium Peebe punya gue yang harganya berapa puluh ribu, gue lupa, tapi lebarnya 2x matras pada umumnya, buat duduk-duduk ngelurusin punggung di puncak.
4. Jas hujan 2 set karena ga mungkin dipake barengan. Merk Arei harganya 199.000/set. 1 nya jas hujan untuk riding dan 1 nya memang ponco.
5. Jaket windproof & water-resistant merk Arei seri Jasmine, sekitar 400.000an, gue bawa untuk jaga-jaga aja karena gue ga suka dingin, yang akhirnya nggak kepake. 
6. Kotak P3K standar isinya plester cepat, multitools, emergency blanket, perban, dll. Cuma kurang koyo. Ini selalu gue bawa, wajib.
7. Hand-sanitizer
8. Kamera buat foto-foto
9. Teropong buat ngintipin orang, tapi sumpah ga penting.
10. Topi, tapi akhirnya nggak kepake
11. Tisu basah
12. Sarung tangan
13. Trekking pole dan aksesorisnya 
14. Kemeja biasa yang gue gatau bahannya apa
15. Celana quick dry Consina, harganya 295.000, gue inget karena baru beli.
16. Sepatu Consina Mustang, harganya waktu gue beli 925.000. Kakak gue pake Arei waterproof, harganya 850.000
17. Kaos kaki sekolah yang murah, kebetulan masih punya di rumah yang gue gatau dari tahun kapan itu dibeli. Kaos kaki ini ternyata berguna juga karena biar harganya murah, akhirnya dipakailah bahan yang sebenarnya quick dry. Tapi licin. Tapi gapapa karena sepatunya udah mahal. Ehe.

Tiket masuk Rp10.000 per orang dan Rp5.000 untuk parkir motor. Kalau mobil nggak tau berapa tapi di Pos Perizinan bisa naruh mobil, karena area nya cukup luas. Nggak perlu surat sehat apalagi tes antigen. Saran gue kalau kalian baru pertama kali dan takut nyasar, tanya ke yang jaga tentang apapun yang lo pengen tau, karena nggak ada briefing. Kalau nggak nanya, nggak dikasih tau. 

Di akhir perjalanan, gue lapor diri ke Pos Perizinan kalau udah turun, dan disini kalian bisa nukerin tiket masuk sama sticker Gunung Lorokan sesuai jumlah orang.

Sekian dan next adalah Gunung Watu Jengger yang nggak tau bisa terealisasi kapan.

FYI.

Gue masih nemu sampah puntung-puntung rokok di puncak. "Bawa turun kembali sampahmu"? Hilih. 

Comments

Popular posts from this blog

Mt. Puthuk Siwur, 1429 mdpl (masl). Nyebelin!

My Fencing Team's Soldiers