Cintaku Tak Mengenal Rintangan
Originally made by Nurkhairana Aryanti Trikurnia.
Aku berdiri di depan pagar siang
itu, menatap cakrawala senja yang perlahan mengisi langit. Matahari masih
terik, namun bayang-bayang sudah mulai memanjang. Aku tak yakin akan apa yang
ingin kulakukan selanjutnya. Setelah surat keputusan dari dokter tiba pagi ini,
duniaku berubah hampa. Kini, melihat dan merasakan sosok kecil manja berada di
pelukanku hanyalah tinggal impian yang takkan pernah bisa terwujud. Aku tidak
bisa punya anak dan menderita selusin kelainan lainnya. Masih untung aku tidak
menjadi seorang mutan sekalian.
Semua ini berawal dari penelitian
yang ku ambil, walaupun aku tahu benar resikonya. Menceritakan detailnya hanya
akan membuatku semakin pedih. Berkreasi dengan nuklir memang menjadi
cita-citaku sejak awal dan takkan kubuang sedikit pun waktuku untuk tak
mempelajarinya. Namun, pada akhirnya ambisiku mengalahkan akal sehat. Ya, aku
memang menemukan sebuah penemuan yang menurutku hebat dan akan berguna besar
bagi bangsa. Tapi sebagai gantinya, aku harus menderita semua ini. Memang
hidupku tidak divonis untuk berakhir dengan cepat, namun aku kenal diriku
sendiri. Jauh di dalam sana, aku sadar, aku akan pergi lebih cepat daripada
yang lain.
Perlahan kuusap air mataku dan pergi
ke kamar mandi utnuk mencuci muka. Biasanya air bisa menyembuhkan luka batinku
dalam sekejap.
“Kejayaan, huh?” tanyaku pada gadis
di dalam cermin. Mukanya hampa, tatapannya kosong. Gadis yang menyedihkan.
Matanya menatap lekat mataku, seakan bertanya.
Hanya ada satu orang yang pernah
menatapku sedemikian lekat, dan lalu tersenyum manis. Kepadanya, aku akan
mendedikasikan sisa hidupku. Hanya dia satu-satunya orang yang membuatku bisa
berpaling dari cinta pertamaku, orang yang takkan bisa kusakiti hatinya.
Lamunan itu membawaku ke dalam hentakan,
dan dengan segera aku bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Cepat atau
lambat, aku harus memberitahu dia tentang ini. Lebih cepat lebih baik, dan aku
takkan menundanya. Begitu berada di dalam mobil, aku menghubunginya.
“Ada janji untuk hari ini? Udah pulang kerja belum?”sontak aku
berkata di telepon saat sambungan sudah tersambung.
“Janji? Hmm, kayaknya nggak deh. Aku belum pulang, Sayang. Sebentar lagi.” Jawab
sebuah suara di seberang. Nadanya terdengar riang. Oh Tuhan, bahkan hanya
mendengar suaranya, hatiku diselimuti rindu.
“Aku butuh bicara sama kamu. Ke
pinggir danau, yuk. Aku tunggu kamu sampai selesai kerja.” aku tidak bisa
menahan getaran dalam suaraku.
“Oke. Kamu….nggak apa-apa kan?”
ternyata ia menangkap sinyal tak beres dalam jawabanku.
“Nggak, nggak apa-apa. Oke kalau
gitu. Bye.”
“Bye.
Sampai ketemu nanti. Je t’aime.”
“Je
t’aime aussi.” Aku melempar telepon genggamku ke jok samping pengemudi, dan
menyandarkan kepalaku di atas setir. Tanpa kusadari, aku menangis dalam diam,
lagi.
((()))
Tristan bingung membisu di balik
meja kerjanya. Suara pacarnya tadi benar-benar terdengar tidak seperti
biasanya. Seakan Dementor, makhluk
pengisap kebahagiaan yang ada dalam Harry
Potter, baru saja mampir dan mengisap kebahagiaannya, suara riangnya.
Dengan cepat ia menyelesaikan
pekerjaannya dan berlari ke parkiran mobi begitu jam selesai kerja berdentang.
Tristan mengganti sepatunya dengan sandal, namun tetap mempertahankan dasinya.
“Favorit Nuri,” gumamnya. Nuri
paling suka membantu Tristan melepaskan dasinya dan memasangkannya kembali
untuk dipakai keesokan harinya. Tristan tertawa, pikirannya membayangkan
kehidupan mereka berdua nanti. Ia akan membeli sebuah rumah sederhana seperti
yang selalu diinginkan Nuri. Nuri juga tidak akan bekerja lagi dan mengabdikan
seluruh hidupnya untuk keluarga kecil yang akan mereka bina.
Tristan tenggelam dalam lamunannya
sambil mengarungi kemacetan kota. Ia meraba sakunya berkali-kali, memastikan
sebuah kotak hitam kecil masih berada di tempatnya. Kalung untuk Nuri, kalung
pertama—ah tidak, perhiasan pertama—yang akan mengisi indah parasnya.
Tiba-tiba, kejadian berikutnya
terjadi sangat cepat. Sebuah klakson nyaring memecah lamunannnya. Decitan rem,
sebuah teriakan nyaring, dan berakhir dengan sebuah tabrakan tak terelakkan.
Setelah menginjak rem dalam-dalam, Tristan terpaku melihat kejadian yang
terjadi persis di depannya. Tristan tidak menderita apapun, mobilnya bahkan
baik-baik saja. Ia sepenuhnya menjadi saksi dan shock berat. Jantungnya seakan turun ke kaki. Namun dengan
kondisinya yang cepat pulih dari keterkejutan, Tristan membuka pintu, turun
dari mobil, dan tanpa pikir panjang menghampiri sang korban.
Tristan menutup wajahnya dengan sapu
tangan untuk menahan debu dan asap lalu secepatnya mengevakuasi korban. Di
kursi pengemudi, terbaring tak sadarkan diri, seorang perempuan muda yang
kurang lebih sebaya dengannya. Paras cantiknya tak dapat ditutupi oleh genangan
darah di sekitar pelipisnya. Dengan cekatan, Tristan menggendong wanita itu.
Namun seketika ia tersentak.
Kenangan menarik paksa Tristan ke beberapa tahun silam. Wajah itu, rona itu,
dan mata itu yang kini tertutup, tampak begitu familiar. Wajah itu milik Rosa,
cinta pertama Tristan.
“Rosa! Buka mata lo, Ros! Ini gue,
Tristan.”
Gadis itu tidak menjawab, namun
nadinya masih berdetak. Tidak memedulikan teriakan orang-orang di
sekelilingnya, Tristan membopong tubuh Rosa dan memacu mobilnya ke rumah sakit
terdekat.
((()))
Nuri khawatir mengapa Tristan tak
kunjung datang, namun ia tidak mencoba menghubungi. Begitu telepon genggamnya
berbunyi, ia memenggalnya di dering pertama.
“Tris, udah sampai mana?”
“Nuri, aku minta maaf ya. Tadi ada
kecelakaan tepat di depan mobilku. Aku di rumah sakit sekarang. Anu… ternyata
yang kecelakaan temanku sendiri,” ujar Tristan.
“Oh ya?! Aku kesana sekarang ya,
kita cari tempat makan malam di sekitar situ saja nanti,” suara Nuri tampak
terkejut.
“Okay.
I’m waiting.”
Dalam lima belas menit, Nuri sampai.
Ia memimpin kakinya menemukan Tristan. Namun sebelum ia melangkah masuk ke
kamar pasien, mata dan nalurinya mencegah.
Di atas kasur pasien, sang korban
mulai sadar. Tristan ada di sampingnya, menatapnya dengan lekat dan penuh
perhatian. Tatapan yang selama ini mengisi hari-hari Nuri. Tristan mulai lega
saat kesadaran mulai menghampiri Rosa.
“Tris…tan?” sang gadis membalas
tatapan matanya.
“Iya Ros, ini gue.”
“Tris, udah lama ya kita nggak
ketemu.”
“Iya Ros.”
Menatap dengan hampa, Nuri menunggu
di luar ruangan. Seorang suster datang menghampiri dan menepuk pundak Nuri.
“Maaf Nona, apakah Anda salah satu dari keluarga korban?”
“Mmm, ngg.. eh iya,”
“Tolong berikan ini ke pasien, ya
Nona,”
“Oke Sus.” Nuri menerima bungkusan
itu, yang ternyata berisi barang-barang korban. Hatinya tergelitik untuk
membuka dompet Rosa. Ia tahu ini salah, namun Nuri tak dapat menahan rasa
penasarannya. Di dalamnya, ia menemukan foto Tristan selagi remaja. Ia
menatapnya tak percaya. Ia tahu pasien itu adalah cinta pertama Tristan. Dan
kini ia tahu mereka saling mencintai.
Nuri menatap dengan pedih,
menyaksikan mereka bertukar canda dan tawa. Namun bibirnya menyunggingkan
senyum pedih. Tangannya perlahan mengeluarkan sebuah surat dari saku jeans
lusuhnya.
“Maaf Tristan. Semua penjelasanku
ada di dalam surat ini. Tadinya aku hanya ingin memberikannya jika aku tak
kuasa mengungkapkan kenyataan pahit ini dari mulutku sendiri. Seperti biasa,
aku sering kehilangan kata-kata saat menatap indah wajahmu. Sekarang,
mengetahui kamu bisa tersenyum tanpaku, aku lega. Aku benar-benar lega,” gumam
Nuri, lalu berbalik pergi.
Nuri mengusap air matanya dan
mengembalikan bungkusan itu ke salah satu suster. “Sus, maaf, saya harus pulang
cepat. Oh ya Sus, kalau yang laki-laki keluar, tolong berikan surat ini ya.”
“Tapi Nona…”
“Terima kasih, Sus,” potong Nuri.
((()))
Hawa bandara Soekarno-Hatta rupanya
sedang tidak bersahabat. Angin dingin terus berusaha menembus paru-paru Nuri
saat ia menggeret kopernya dengan cepat. Ia berkali-kali menghembuskan nafas
panjang dan menahan air matanya. Ia tidak boleh jatuh sakit menjelang
kepindahannya ke Jerman.
“Nuri! Nuri!” sebuah suara
meneriakkan namanya.
Nuri mendengar teriakan itu, suara
yang begitu familiar. Namun ia tetap berjalan tegak, dan tak pernah menoleh ke
belakang.
“Nuri! Dengerin aku sekarang!”
Tristan memutar bahu Nuri dalam satu hentakan dan memaksanya menghadap
wajahnya. “Kamu kira aku akan begitu saja mencampakkanmu? Kamu kira aku akan
dengan mudahnya move on hanya karena
aku menemukan kembali Rosa? Kamu kira keputusan yang kamu ambil ini paling
tepat, hah?”
“Tris, aku nggak ada gunanya lagi.
Keputusan yang aku ambil ini rasional, kan? Aku nggak cemburu, dan bukan
tujuanku untuk menawarkan Rosa yang kembali ke hidupmu. Kita… benar-benar nggak
bisa besatu. Biarlah aku habiskan sisa hidupku sendiri, Tris. Dengan begitu,
semua orang akan bahagia.”
“Dan kamu pikir aku akan benar-benar
bahagia? Melepaskanmu dengan cara kejam seperti ini? Aku tahu Rosa datang, tapi
itu nggak akan mengubah apapun,” Tristan memeluk Nuri.
“Tapi…kenapa, Tris?” air matanya
kini mengalir deras tanpa tertahan.
“Kamu sudah terlalu banyak berjuang,
Nuri. Kini biarlah aku yang berjuang untukmu. Pulang yuk.”
“Aku ngak bisa, Tris..”
“Harus,” potong Tristan tegas,
matanya berkaca-kaca.
Nuri terdiam dalam ragu.
“Karena selama kamu ada di sini,
hidupku sempurna, Nuri. Bukan cinta pertama, bukan Rosa. Hanya kamu.” Tristan
menunjuk hatinya.
Comments
Post a Comment