Tamu

Aku adalah seorang calon tamu.

Dulu, hobiku adalah menangis di sudut kamar. Sebuah ruangan luas yang kosong, dengan langit-langit yang hampir runtuh. 

Dulu, aku tak berani membuka pintu. Sebuah pintu yang terkunci dari dalam dengan engsel yang sudah berkarat. 

Walau rumahku indah, dicat menawan dengan warna-warna yang bahagia. Gerbangnya terbuka lebar. Keluarga yang tinggal di dalamnya pun sangat ramah. Tak peduli siang maupun malam, ketika akhirnya aku merangkak keluar kamar untuk sekedar menghirup udara segar, mereka menawarkan bahunya. 

Walaupun akhirnya aku kembali ke hobiku semula. 

Lalu suatu hari, aku beranjak dewasa. Sebuah momentum membahagiakan yang menggugah semangatku untuk mulai membuka kisi-kisi jendela yang selama ini tertutup rapat. Kupersilahkan hangatnya cahaya mentari merembes melalui kisi-kisi itu dan menerpa kulitku yang dingin. 

Namun, rasa hangat itu terasa sangat nyaman. Aku sampai lupa, bahwa dulu, kamarku juga pernah dibanjiri rasa hangat yang sama.

Akhirnya kusingkap tirai jendelanya. Pancaran cahaya mulai mengisi kamarku yang tak jelas bentuknya. Menyinari sudut-sudut berdebu yang lama tak tersentuh. Menyinari wajahku yang kaku. 

Niatku, barang sebentar saja. 

Namun saat itu, seorang pemuda berjalan santai di sepanjang jalan seberang rumahku. Memakai stelan berwarna gelap, berjalan berdampingan dengan seorang wanita berparas menawan. Aku tak tahu pasti wanita itu benar-benar bahagia, atau memang ia memandang dunia dengan sama bahagianya.  Namun pemuda itu, terlihat sumringah dengan tulus. 

Merasa diperhatikan, pemuda itu menoleh ke arahku dan berakhir dengan bertatap muka. Kami saling melempar senyum hormat. Lalu ia kembali berjalan lalu, dan aku menutup jendelaku. Lagi. 

Keesokan paginya aku kembali membuka tiraiku. Pemuda yang sama kembali berjalan santai melewati jendelaku. Aku bersiap melempar senyum sapaku, namun pemuda itu berhenti dan menerawang jauh. Lalu ia berlalu begitu saja dan aku, tanpa peduli, juga kembali menutup tiraiku. 

Hari-hari selanjutnya berlalu dalam gelap, tanpa ada tirai yang kubuka. Namun bayangan akan pemuda berstelan suram itu melintas di pikiranku. 

Walau hanya sepersekian detik.

Walau aku tak tahu kenapa. 

Aku beringsut ke arah jendela dan kucoba perlahan mengintip jalanan di seberang. Pemuda itu duduk di tepi trotoar seakan menunggu.

Dan tanpa sadar, aku memanggilnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Mt. Lorokan 1100 mdpl (masl)

Mt. Puthuk Siwur, 1429 mdpl (masl). Nyebelin!

My Fencing Team's Soldiers