Ramadhan Tahun Ini


Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, aku selalu bisa merasakan suasana hangat penuh canda, tawa dan keceriaan. Mayoritas anggota keluarga besar, walaupun tidak semuanya bisa berkumpul dalam satu waktu karena harus membagi waktu antara orangtua dan mertuanya, akan berkumpul di sebuah rumah besar berhalaman luas di Jember. Ya, rumah itu milik kakekku dari sisi Bapak. Eyang Kakung, sosok tertua dalam keluarga besar Bapak (dan kini, juga bagi Ibu) sekaligus pemersatu alasan kami berkumpul setiap akan lebaran.

‘Lebaran di Jember’ adalah favoritku. Walaupun dari tahun ke tahun keluarga kami harus bergantian berbagi jatah hari lebaran antara Surabaya dari sisi Ibu dan Jember dari sisi Bapak. Selain suasana adem yang ditawarkan kota dengan ketinggian 89 MDPL itu, Jember juga penuh canda. Berbeda dengan suasana harmonis namun serius yang dapat kurasakan setiap kali menghabiskan hari lebaran di Surabaya. Kami akan menggelar karpet dan kasur-kasur kecil di ruang tamu untuk tidur bersama bersisian, lintas generasi dan lintas darah kandung. Sepupu dan keponakan. Eyang dan cucu. Pakde dan tante. Lantas, tradisi ini kami sebut ‘mindang’ atau ‘memindang’ yang diambil dari fenomena ikan pindang yang dijual menjulur secara bersisian. Untuk urusan kuliner, aku juga bisa merasakan bubur ayam satu-satunya yang bisa kusebut enak dan mie pangsit Jember yang khas.

Namun Ramadhan kali ini, mulai muncul kegelisahan yang awalnya tak dapat kutangkap arti dan maknanya. Biasanya, setiap perjalanan ke Jember, aku tidak akan kuat menyetir 200 kilometer tanpa mengantuk. Setidaknya satu kali dan aku akan butuh asupan minum atau makan. Namun Ramadhan kali ini, aku dalam keadaan puasa dan tidak mengantuk barang sekalipun. Dengan total perjalanan 5 jam, aku, Bapak dan Adik sampai di rumah Jember pukul 1 siang.

Berbeda dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, rumah Eyang Jember masih terasa sepi. Pagar rumah belum dibuka. Tidak ada mobil lain selain mobil kami yang akan memadati halaman. Satu-satunya sosok yang menyambut kami adalah sosok renta Eyang Jember, dengan kaus putih yang sudah tua dan celana kebun ditemani beberapa kandang burung perkututnya yang beliau kerek ke ujung tiang bendera. Bukan masalah besar, menyadari fakta bahwa tiang itu hanya bertugas tiga hari dalam setahun yaitu pada 17 Agustus, 1 Oktober dan 10 November.

Seperti biasa, Eyang Jember menyambut kami dengan mata berkaca-kaca lalu memeluk Bapak lama dan erat sekali. Bagai menemukan kembali pecahan hidupnya yang pernah hilang. Aku tak kuasa melihat pemandangan seperti itu, karenanya aku memantapkan hati untuk tidak menangis sebelum menyetir mobil memasuki halaman rumah.

Begitu aku selesai parkir dan pelukan penuh rindu itu berakhir, Bapak mengambil bungkusan berisi baju lebaran untuk mereka berdua. Baju lebaran dengan motif dan warna serupa yang Bapak beli semalam di Galaxy Mall. Menghabiskan satu jam untuk mencari parkir dan menghabiskan satu jam lagi untuk memilih. Pilihan Bapak jatuh pada baju koko lengan pendek berwarna biru donker dengan harga satuan hampir 6 digit.

Namun bukan berapa banyak digit yang menyita perhatianku kali ini. Bukan berapa lama waktu yang dihabiskan. Bukan juga jarak dan kesempatan. Namun ekspresi wajah Bapak saat itu, menusukku sampai ke jantung. Ada kesedihan dan kebahagiaan yang bercampur aduk disana. Kebahagiaan karena lega bahwa Ayahandanya baik-baik saja. Kebahagiaan karena penantian lamanya kini telah berakhir, setidaknya untuk sementara. Kebahagiaan bahwa ia tak lagi terbayang-bayang wajah keriput Ayahandanya di sela-sela meeting yang panjang, di perjalanan pulang dari kantor atau sebelum ia bisa jatuh tertidur. Kesedihan bahwa umur Ayahandanya kini semakin berkurang dan keriputnya semakin jelas terlihat. Kesedihan mengingat fakta bahwa ia hanya bisa bertemu dalam rentang waktu 12 hari jatah cutinya.

Ia simpan semua ini di dalam hatinya. Terlalu takut untuk mengungkapkan. Terlalu gengsi untuk membiarkan pertahanannya rubuh dan menangis di pelukan Ayahandanya. Terlalu terbiasa untuk menampakkan sosok seorang Bapak yang tegar di depan anak-anaknya. Terlalu menganggap dirinya kuat untuk menanggung semua luapan perasaannya sendirian.

Akhirnya, ia memilih untuk menampakkan wajah bahagia.

“Bapake, aku belikan baju lebaran yang matching sama aku untuk Bapake,” katanya menahan rindu. Menahan luapan emosinya. Menahan air mata yang kini sudah setengah jalan ke pelupuk mata. Manusia memang tak pernah benar-benar berubah. Wajah sumringah Bapak mengingatkanku pada seorang anak SD yang dengan bangga menunjukkan nilai 100 nya, atau anak SMP yang berhasil menyelesaikan prakarya seni nya. Atau mungkin anak lulusan SMA sebuah kota kecil yang diterima di jurusan Teknik Mesin ITS. Sekali lagi, aku menolak untuk menyaksikan adegan itu. Namun aku tak bisa, karena aku sang photographer yang mengambil foto di bawah ini:



“Black Panther Series” – caption Bapak kemudian di grup Whatssap keluarga.

Saat itu aku benar-benar mengerti, manusia tidak pernah benar-benar berubah. Semahir apapun Bapak mengarungi bahtera rumah tangga selama seperempat abad, semahir apapun Bapak memahami psikologi anak-anaknya, selama apapun ia menjadi definisi manusia paling tegar dan kuat di keluarga kecil kami, ia tetap seorang anak lelaki kecil di mata Eyang Kakung. Tetap punya senyum yang sama. Tetap punya selera humor receh yang sama. Tetap mengingatkan Eyang Kakung akan wajah mendiang istrinya. Tetap merupakan pelipur rindu yang ia nantikan setiap Hari Raya.

Lalu bagaimana denganku? Ya, dengan susah payah aku sedang menumpahkan luapan emosiku disini, di tulisan ini karena aku tidak sanggup menanggung semuanya sendirian. Karena aku tidak tahan lagi menangis diam-diam. Kadang aku merasa, pada saat-saat seperti ini, kemampuan untuk menerjemahkan sebuah keadaan mengharukan yang terlihat biasa ke dalam kata-kata adalah kutukan, bukan pemberian.

Lain kali, aku tidak mau lagi jadi keluarga pertama yang datang ke Jember. Agar Ramadhan ku tetap sama dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.  

Comments

Popular posts from this blog

Mt. Lorokan 1100 mdpl (masl)

Mt. Puthuk Siwur, 1429 mdpl (masl). Nyebelin!

My Fencing Team's Soldiers