Persiapan Perjalananku Menapaki Rumah Dewa-Dewi

Gue selalu pengen naik gunung. Walaupun gue sukanya sama laut, jujur aja mental gue belum cukup untuk berenang di laut, paling banter cuma ngerendem badan sampe dada doang. Jadi siapapun yang punya cukup mental dan bisa berenang di laut, I respect you Sir. Tapi bukan gue kan ya kalau nggak ada "tapi-tapian"nya. Jadi walaupun gue selalu pengen naik gunung dan keinginan itu nggak pernah luntur bahkan semakin menjadi-jadi, I never really take it into action for years

Waktu di kuliahan, gue nggak mau naik gunung bareng Mapala - Mapala an itu, karena gue tau mayoritas dari mereka adalah ahli hisap. Walaupun dimana - mana gue baca dan denger bahwa "cinta alam", "bawa sampahmu kembali turun", "kebersamaan" dan "kekompakan tim" adalah yang utama dan melekat kuat di organisasi-organisasi semacam itu, sorry to say, that was a complete, ultimate bullshit. Mau tau kenapa? 
"Cinta alam" yang mereka agung-agungkan itu bertolak belakang sama abu rokok yang mereka buang sepanjang jalan seenak perutnya. Tentu tidak semua perokok seperti itu, tapi mayoritas iya. Berapa persen sih perokok yang aware tentang abu rokok yang mereka buang sembarangan dan memutuskan untuk bawa some kind of small, portable trash can selama mendaki? Ini baru abu rokok, beberapa bahkan buang puntung rokoknya juga. 
"Bawa sampahmu kembali turun" clearly not.
"Kebersamaan" by smoking me to death? Kalau aku ikut mapala - mapala itu, aku mungkin bukan satu-satunya orang yang nggak merokok dalam rombongan. Tapi the mighty perokok-perokok itu akan tetap merokok dimanapun kapanpun sesuka hati mereka tanpa punya kepedulian tentang sesama yang juga bernapas menggunakan paru-paru dan butuh oksigen. Atau mungkin mereka nggak tau ya kalau gue bernapas pake paru - paru? Yah, mungkin gue yang salah sih nggak ngasih tau mereka. Mungkin mereka kira selama ini gue bernapas pake insang.
"Kekompakan tim" satunya ngerokok, yang lain mati pelan-pelan and you say kekompakan tim? Hmm...sounds wrong.

Alasan-alasan di atas mengurungkan 80% niat gue untuk join Mapala dan naik gunung. Sisa 15% nya karena gue adalah orang yang harus siap baik dari segi gear, mental maupun fisik sebelum memulai sesuatu. Gue juga nggak suka pinjem - pinjem gear. Sisa 5% nya karena gue adalah orang yang menikmati perjalanan panjang, jadi gue bakal banyak berhenti di sepanjang pendakian untuk hunting foto, mengamati flora-fauna sekitar, mungkin juga berhenti untuk nyari inspirasi. I love my me time.

Intinya gue nggak bisa naik bareng kelompok besar atau bareng orang-orang random. I have my own slow pace and this perfectionist preparation. Jadi kesimpulannya adalah gue akan baru bisa naik ketika gue sudah mandiri secara finansial, punya waktu, punya duit, punya gear yang memadai dan punya orang terdekat satu visi yang bisa gue ajakin naik gunung. Atau mungkin kalau orang terdekat ini nggak ada, gue udah cukup mental untuk naik sendiri alias solo hiking

2019 - nyicil peralatan pertama.

Singkat cerita, gue lulus tahun 2019 dan 3 bulan kemudian gue keterima kerja di salah satu perusahaan swasta. Penempatan pertama gue adalah Sumbawa, NTB. Niat gue adalah 60% liburan, 40% kerja karena gue kira kerjaan gue bakal santai. Tapi karena duit gue baru kekumpul sedikit, waktu itu gue baru bisa beli keril 60L, tenda sama nesting aja. Kalau sepatu gue emang sengaja nggak mau beli dulu, karena gue kayaknya belum akan naik di waktu dekat. Target gue waktu itu adalah Tambora, karena paling deket sama Sumbawa. Tapi setelah gue nonton YouTube orang - orang dan melakukan beberapa riset, kesimpulan gue Tambora itu bukan gunung untuk pemula. Akhirnya, gue mengurungkan niat gue lagi.

And shit happens. Kerjaan yang tadinya gue kira bakal santai, ternyata sibuk banget. Gue bener - bener wasted banget saat itu sampai 2 tahun lewat gitu aja dan keinginan gue untuk naik gunung semacam terlupakan. Yang tadinya 60% liburan 40% kerja, jadi 110% kerja karena yah...walaupun capek tapi I love my job, really.

2021 - udah enek sama kerjaan tapi duit udah banyak.

Singkat cerita, gue akhirnya enek sama kerjaan dan lupa kapan terakhir kali gue liburan. 2 tahun gue kerja, cuti cuma dihabisin di rumah doang, nge-charge energi dan tidur seharian. Dan akhirnya, sudden urge itu dateng bertubi-tubi karena gue udah nggak punya alasan untuk menunda lagi. Gue merasa cukup dan siap. Akhirnya, gue mulai nyicil peralatan lain dan tiap buka YouTube yang gue ketik tentang pendakian dah. 

Kali ini gue nggak terlalu ngeliat harga, kecuali barang - barang yang gue pikir harga murah bukan masalah. I will use them gears as long as I live. Mulai dari sepatu, gue beli Consina karena empuk dan waterproof walaupun range harga dia ada di tengah-tengah. Di atasnya ada Eiger, di bawahnya ada Arei. Gue juga beli jaket windproof dan water-resistant, jas hujan ponco yang bisa dibuat flysheet juga, trekking pole, sarung tangan thermal, celana quick dry, gaiter, multi tools, dll.

Tapi, terus gue sadar bahwa ada satu lagi yang masih belum gue sempurnakan dan nggak bisa dibeli pake uang: latihan fisik. Disini gue merasa sangat beruntung karena di kantor gue ada gym dadakan. Setidaknya gue bisa latihan fisik sejam - dua jam lah disitu selama hari kerja. Keinginan gue untuk rutin latihan fisik dan beli trekking pole didasari oleh sebuah kejadian yang agak bikin gue malu. 

2021 - Bukit Krapyak, Mojokerto, 900 mdpl.

Sumpah ini belum niat hiking sebetulnya, cuma mau ngereview camping ground nya aja. Jadi di suatu weekend gue ngajak kakak gue untuk jalan-jalan, which gue juga niatnya beneran cuma jalan - jalan dan review tempat doang. Tapi, waktu udah sampe sana, kakak akhirnya juga malah encourage gue buat naik aja test the waters. Tadinya masih ogah-ogahan karena tanjakan pertama udah berupa tangga 60 derajat. Tapi akhirnya nge-boost lagi karena ada ibu-ibu semangat banget naik tangganya buat ziarah ke makam salah satu orang yang disegani disana, kebetulan dimakamkan di Bukit Krapyak juga dan aksesnya satu jalan sama ke camping ground

Karena udara waktu itu masih dingin, berkabut dan sempet gerimis kecil-kecil juga, kita beneran nggak haus sama sekali dan berhasil sampai puncak (camping ground nya di puncak) dan turun lagi nggak pakai minum. Tapi begitu turun, dengkul gue cekit-cekit. Shit. Makanya setelah itu gue rajin banget olahraga dan beli trekking pole buat ngebagi beban waktu turun, biar nggak semuanya ada di kaki.

2021 - Gn. Penanggungan via Jolotundo, 1653 mdpl tapi tentu tak sampai situ.

Ini juga belum niat hiking, cuma niat liat candi-candinya doang. Tapi bahkan kita pun nggak sampai ke candi pertama karena hujan deras dan jalurnya jadi jalan air. Waktu itu gue udah beli dan udah pake sepatu Consina Mustang gue, cuma kakak gue belum pakai sepatu khusus hiking karena emang dari awal nggak niat hiking dan nggak nyangka aja jalurnya jadi se-menghawatirkan itu ketika hujan. Akhirnya setelah hanya beberapa ratus meter jalan, kita turun lagi dan pulang. 

2021 - Gn. Lorokan, Mojokerto, 1100 mdpl.

Sebenernya gue nggak yakin apakah kakak gue bakal suka naik gunung, karena setau gue kakak gue memang jauh lebih tertarik ke wisata-wisata peninggalan jaman dulu, kayak candi-candi gitu. Jadi kemarin pun waktu ke Penanggungan, tujuan utama adalah memang para candi. Tapi, gue bersyukur karena ternyata ambisi naik gunung ini ternyata nular dan kakak gue jadi pengen naik gunung juga, regardless ada candinya atau nggak wkwkwkwk. Which is alhamdulillah karena rencana gue naik gunung akan terealisasi lebih cepat karena ada yang nemenin, nggak harus nunggu gue nikah dulu. Ehe. 

Sudden urge yang terjadi di kakak gue adalah ketika gue minta temenin jalan-jalan nyari jalan ke jalur pendakian Penanggungan via Tamiajeng, karena jalur itu populer dan kayaknya jauh lebih manusiawi daripada Jolotundo. Begitu doi liat tumpah ruah pendaki yang pulang maupun yang naik, dari segala usia, jenis kelamin, bentuk fisik, jadi deh. Tapi hari itu kita cuma bisa berdoa dan berharap suatu saat akan ada kesempatan untuk bisa naik dan muncak.

Akhirnya kita mulai susun strategi. Karena ini bulan puasa dan kita adalah orang-orang yang tidak pernah meremehkan persiapan pendakian, akhirnya Gunung Lorokan menjadi pilihan pertama pendakian sebelum menjajal Penanggungan. Berangkat dari keyakinan bahwa at least peralatan dasar pendakian sudah terpenuhi, dan berdasarkan histori pendakian Bukit Krapyak yang nggak minum sama sekali, akhirnya kita memantapkan untuk mendaki Gunung Lorokan, 1100 mdpl, di bulan puasa. 

Karena Gunung Lorokan adalah pendakian pertama dan paling berkesan menurut gue, nanti akan ada postingan sendiri ya.

Untuk postingan ini, gue sebenernya cuma mau curhat aja perjalanan gue bertahun-tahun hanya untuk mempersiapkan peralatan, mental dan fisik, just because it is me. Teman-teman yang lain mungkin yang nggak punya masalah naik bareng anak Mapala atau orang-orang random yang ahli hisap, nggak masalah untuk minjem gear karena terlalu mahal untuk beli sendiri atau mungkin memang cari barengan karena nggak kuat bawa beban & logistik untuk solo hiking, please go ahead. 

That is me and there is always two sides of a coin

But please remember, please bring back your trash no matter how small it is. You don't kill babies because it is small.

Bye!

Comments

Popular posts from this blog

Mt. Lorokan 1100 mdpl (masl)

Mt. Puthuk Siwur, 1429 mdpl (masl). Nyebelin!

My Fencing Team's Soldiers